TUGAS
SOSIOLOGI POLITIK
1. BENTUK
NEGARA RI
Berdasarkan
pasal 1 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa negara Indonesia ialah negara kesatuan
yang berbentuk republik. UUD 1945 menghendaki bentuk negara kesatuan dengan sistem
desentralisasi. Sistem desentralisasi ditegaskan dalam Penjelasan pasal 18
UUD 1945 yang berbunyi Oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidstaat
(negara kesatuan), Indonesia tidak memiliki daerah di lingkungan yang bersifat
staat (negara)juga.
2. BENTUK
PEMERINTAHAN RI
Dalam pasal
1 ayat 1 menghendaki negara Indonesia menghendaki bentuk pemerintahan republik.
Republik
berasal dari kata res dan publica (res berarti kepentingan; publica
berarti umum). Respublica berarti kepentingan umum atau urusan bersama. Dalam
bentuk pemerintahan republik, kekuasaan dalam negara tidak dipegang oleh
seseorang secara turun-temurun. Sedangkan dalam bentuk pemerintahan monarki,
kekuasaan dalam negara dipegang oleh seorang raja dan menjalankan kekuasaan
berdasarkan pengangkatan atau penunjukkan.
3. SISTEM
PEMERINTAHAN RI
Berdasarkan
pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian, sistem
pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial.
4. SISTEM
POLITIK RI
Sistem
politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan
dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses
penentuan tujuan
Politik
adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara (
termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan
keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan
terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik
sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara.
Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga
Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR,
DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden,
5. SISTEM
PEMILU RI
Bab tentang
pemilihan umum merupakan bab baru dalam undang-undang dasar negara republik
indonesia tahun 1945. Rumusannya sbb :
BAB VII B
PEMILU Pasal 22E
a.
Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,dan adil setiap lima tahun sekali
b. Pemilu
diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wapres dan DPRD
c. Peserta
pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol
d. Peserta
pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan
e. Pemilu
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri.
f. Ketentuan
lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang
Sistem
pemilu di bagi menjadi dua kelompok yakni
a. Sistem
distrik ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil )
Didalam
sistem distrik, satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas dasar suara
terbanyak. Sistem distrik memiliki variasi, yakni :
firs past
the post : sistem yang menggunakan single memberdistrict dan pemilihan yang
berpusat pada calon, pemenagnya adalah calon yang memiliki suara terbanyak.
the two
round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai
landasan untuk menentukan pemenang pemilu. hal ini dilakukan untuk menghasilkan
pemenang yang memperoleh suara mayoritas.
the
alternative vote : sama seperti firs past the post bedanya para
pemilih diberi otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan
ranking terhadap calon-calon yang ada.
block vote : para
pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang terdapat dalam daftar
calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.
b. Sistem
proporsional ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
Dalam sistem
ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil. prinsip utama di dalam sistem
ini adalah adanya terjemahan capaian suara di dalam pemilu oleh peserta pemilu
ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan secara proporsional, sistem ini
menggunakan sistem multimember districts. ada dua macam sitem di dalam
sitem proporsional, yakni ;
list
proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan
daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi
partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
the single
transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan
preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kuota.
Perbedaan
pokok antara sistem distrik dan proporsional adalah bahwa cara menghitung
perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam
parlemen bagi masing-masing partai politik.
6. SISTEM
KEPARTAIAN RI
Konsititusi
kita (UUD 1945) tidak mengamanatkan secara jelas system kepartaian apa yang
harus diimplementasikan. Meskipun demikian konstitusi mengisyaratkan bahwa
bangsa Indonesia menerapkan sistem multi partai. Pasal tersebut adalah pasal 6A
(2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pasangan Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dari pasal tersebut
tersirat bahwa Indonesia menganut sistem multi partai karena yang berhak
mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik
atau gabungan partai politik. Kata “gabungan partai poltitik” artinya paling
sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden
untuk bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik lain.
Dengan demikian dari pasal tersebut di dalam pemilu presiden dan wakil presiden
paling sedikit terdapat tiga partai politik.
7. STRUKTUR
POLITIK
Indonesia
menerapkan system pemerintahan demokrasi pancasila, sebagai satu kesatuan di
dalam system politik pancasila. Demokrasi dapat dikatakan sebagai “pemerintahan
dari bawah”, “pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat”, “pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat untuk rakyat” atau pemerintahan oleh banyak orang”.
Walaupun tentunya tidak semua rakyat atau setuiap orang ikut memerintah. Adalah
merupakan sesuatu yang mustahil, atau justru merupakan bentuk anarki (tanpa
pemerintahan) jika setriap orang ikut menjalankan kekuasaan.
Sedangkan “struktur politik” adalah tata susunan kelembagaan (lembaga dan
organisasi) dalam kehidupan politik suatu bangsa dan suatu Negara. Struktur
politik terdiri dari supra-struktur dan infra struktur.
Supra-struktur
mencakup:
1. Pemerintah
2. Lembaga
tinggi Negara
3. Lembaga-lembaga
Negara (di pusat dan di daerah) serta aparatur pelaksana pemerintah.
Infra-struktur mencakup saluran
organisasi untuk penyaluran aspirasi rakyat, yaitu:
1. Orsospol/parpol
(partai-partai politik)
2. Kelompok
kepentingan (interest group)
3. Kelompok
penekan/pendesak (pressure group)
4. Pendapat
umum (public opinion) bersama-sama media massa)
8. SOSIALISASI
POLITIK
yaitu
proses, oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik, yang
kemudian menentukan sifat persepsi-persepsi mengenai politik serta reaksi
reaksinya terhadap gejala-gejala politik.
Konsep Sosialisasi Politik
pertama
sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar.
memberikan
indikasi umum hasil belajar tingkahlaku individu dalam batas-batas yang luas.
Ketiga, sosialisasi itu tidak
perlu dibatasi sampai pada usia anak-anak dan remaja saja.
Perkembangan Sosialisasi Politik.
Easton dan Dennis mengemukakan empat tahap
dalam sosialisasi politik diri anak-anak:
Pengenalan
otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden, dan
polisi.
Perkembangan
pembedaan antara otoritas internal dan eksternal, yaitu antara pejabat swasta
dan pejabat pemerintah.
Pengenalan
melalui intitusi-institusi politik yang impersonal, seperti Kongres, MA,
pemilu.
Perkembangan
pembedaan antara intitusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam
aktifitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini, sehingga gambaran
yang diidealisir mengenai pribadi-pribadi khusus seperti presiden atau seorang
anggota kongres telah dialihkan kepada kepresidenan dan kongres.
9. PARTISIPASI
POLITIK
Yaitu
keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem
politik
Bentuk-bentuk partisipasi politik
ada
dua bentuk partisipasi politik yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif,
tersusun dari mulai yang menduduki jabatan dalam organisasi sampai yang
memberikan dukungan keuangan dengan membayar iuran keanggotaan.
Luasnya Partisipasi Politik.
Salah
satu bentuk partisipasi politik dapat dilakukan melalui voting yang tujuannya
adalah untuk memilih suatu pemerintahan atau pejabat, atau untuk menyetujui
suatu usulan.
10. KOMUNIKASI
POLITIK
Yaitu
Proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem
politik kepada bagian lainya, dan di antara sistem-sistem sosial dengan
sistem-sistem politik.
Pola Komunikasi Politik
Komunikasi
politik adalah transmisi informasi yang relevan secara politis dari satua
bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial
dan sistem politik yang merupakan suatu unsur dinasis dari sistem politik, dan
proses sosialisasi, partisipasi, dan pengrekrutan tergantung dari komunikasi.
11. REKRUITMEN
POLITIK
Yaitu
proses dengan mana individu-individu menjamin atau mendaftarkan diri untuk
menduduki suatu jabatan.
Sistem Pengrekutan Politik
Sistem
pengrekutan politik dapat melaui dua cara khusus yaitu seleksi pemilihan
melalui ujian dan latihan.selain cara-cara pengrekutan yang biasanya
diasosiasikan dengan perubahan-perubahan personil yang ekstensif, terdapat cara
lain yang lebih sering diasosiasikan dengan pengrekutan yang berkesinambungan
dari tipe personil yang sama, yaitu patronage yang merupakan bagian dari sistem
penyuapan dan sistem korupsi yang rumit.
12. BUDAYA
POLITIK
Budaya politik merupakan pola perilaku
suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara,
politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati
oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat
di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki
kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan
penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Secara umum budaya politik terbagi atas tiga :
a. Budaya
politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif)
b.
Budaya politik mobilisasi (didorong
atau sengaja dimobilisasi)
c.
Budaya politik partisipatif (aktif)
BUDAYA POLITIK PAROKIAL
Budaya politik parokial yaitu budaya
politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik
suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka
terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki
perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut.
Ciri-ciri :
a.
Apatis
- Pengetahuan politik rendah
- Tidak peduli dan menarik diri terhadap kehidupan
politik
- Anggota masyarakat cenderung tidak menaruh minat
terhadap objek politik yang luas
- Kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat
kewenangan dan kekuasaan dalam masyarakatnya rendah
- Warga negara tidak terlalu berharap dalam sistem
politik
- Tidak ada peranan politik yang bersifat khusus
- Lingkupnya sempit dan kecil
- Masyarakatnya sederhana dan tradisional
BUDAYA
POLITIK SUBJEK / KAULA
Budaya politik
kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah
relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif.
Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi
orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek
output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh
pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam
pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan.
Ciri-ciri :
a.
Memiliki pengetahuan dalam bidang
politik yang cukup
- Partisipasi politik minim
- Kesadaran berpolitik rendah
- Kehidupan ekonomi warga negara sudah baik
- Tingkat pendidikan relatif maju
- Masyarakat menyadari otoritas pemerintah
sepenuhnya
- Warga negara cukup puas untuk menerima apa yang
berasal dari pemerintah
- Warga negara menganggap dirinya kurang dapat
mempengaruhi sistem politik
- Masyarakat secara pasif patuh pada pejabat,
pemerintah, dan undang-undang
BUDAYA
POLITIK PARTISIPAN
Budaya politik
partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang
sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam
kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota
masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu
budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem
politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta
penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung
Ciri-ciri :
a.
Pengetahuan tentang politik tinggi
- Kesadaran berpolitik tinggi
- Kontrol politik aktif
- Warga negara memiliki kepekaan terhadap masalah
atau isu-isu mengenai kehidupan politik
- Warga mampu menilai terhadap masalah atau isu
politik
- Warga menyadari adanya kewenangan atau kekuasaan
pemerintah
- Warga memiliki kesadaran akan peran, hak, dan
kewajiban, dan tanggung jawabnya
- Warga mampu dan berani memberikan masukan,
gagasan, tuntutan, kritik terhadap pemerintah
- Warga memiliki kesadaran untuk taat pada
peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan tanpa perasaan tertekan
BUDAYA POLITIK
INDONESIA
Budaya politik di Indonesia
merupakan perwujudan nilai nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang
diyakini sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan kegiatan polituk
kenegaraan.
Setelah era reformasi memang orang menyebut
Indonesia telah menggunakan budaya Politik partisipan karena telah bebasnya
Demokrasi, partisipatifnya masyarakat dan tidak tunduk akan keputusan atau
kinerja pemerintah baru aetika . perlu diketahui ketika era orde baru Demokrasi
dikekang. Segala bentuk media dikontrol/diawasi oleh pemerintah lewat
Departemen Penerangan supaya tidak mempublikasikan kebobrokan pemerintah.
Budaya politik Indonesia selalu
berubah mengikuti perkembangan zaman. Tetapi berubahnya itu hanya terjadi pada
daerah perkotaan dan pedesaan yang telah maju tetapi pada daerah-daerah
terpencil itu tidak terjadi perubahan karena kurangnya pendidikan dan
informasi
Budaya Politik Indonesia saat ini
adalah Campuran dari Parokial, Kaula, dan Partisipan , dari segi budaya Politik
Partisipan , Semua ciri- cirinya telah terjadi di Indonesia dan ciri-ciri
budaya politik Parokial juga ada yang memenuhi yaitu seperti
berlangsungnya pada masyarakat tradisional dan pada budaya politik kaula ada
yang memenuhi seperti warga menyadari sepenuhnya otoritas pemerintah.
13. BIROKRASI
POLITIK
Sejarah
perjalanan bernegara Indonesia sejak kelahirannya tahun 1945 sampai sekarang
membawa dampak yang berbeda-beda pada birokrasi. Konfigurasi kultural, ekonomi,
dan politik ikut membentuk profil birokrasi Indonesia . Sepanjang
usia negara Indonesia nampak bahwa politik mendominasi birokrasi
pemerintah.
Masa
awal kelahiran negara atau dikenal sebagai Periode Demokrasi Liberal melahirkan
sistem demokrasi parlementer dengan multi-party system dimana posisi
infrastruktur politik vis-à-vis suprastruktur politik secara relatif
lebih kuat. Tatanan politik ini menciptakan sosok politik bureau-nomia
yakni suatu relasi politik dimana kekuatan nonbirokrasi (parpol, ormas, DPR,
dan sebagainya) mendominasi birokrasi. Birokrasi ibarat lahan yang telah
dikapling-kapling oleh partai politik. Beberapa kementrian didominasi
oleh suatu parpol antara lain Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Pertanian
didominasi oleh PNI; Kementrian Agama didominasi secara bergantian oleh Masyumi
atau NU, Kementrian Luar Negeri didominasi secara bergantian oleh PSI atau PNI.
Penetrasi partai politik ke dalam tubuh birokrasi telah menimbulkan fragmentasi
secara horizontal dalam bentuk multi-loyalitas yang mudah menyeret
konflik-konflik internal birokrasi (conflict-ridden bureaucracy).
Pada
masa Demokrasi Terpimpin pusat kekuasaan tidak lagi di tangan parlemen, peranan
politisi sipil dan partai-partai politik dalam percaturan politik dapat
dikatakan lumpuh.Ada tiga kekuatan yang memainkan peranan penting dalam proses
perpolitikan yaitu Presiden Soekarno, militer (ABRI), dan PKI. Soekarno
dianggap sebagai pemegang keseimbangan antara militer dan PKI, karena itu
mempunyai peranan dominan dan menentukan, bahkan dapat dikatakan kekuasaan
terpusat di tangannya sebagai Presiden.Konsep NASAKOM
(Nasionalis-Agama-Komunis) yang dirumuskan Soekarno pada puncak kekuasaannya
membawa birokrasi berafiliasi pada ketiga aliran tersebut. Di era ini
setiap PNS diharuskan menjadi anggota dari salah satu parpol yang termasuk di
dalam kategori Nasakom.
Pada
masa tahun 1965 sampai dengan tahun 1998, PNS diharuskan menjadi anggota
Golkar.Keanggotaan PNS dijaring melalui mekanisme Korpri yang berafiliasi ke
Golkar.Keterlibatan pegawai negeri sebagai anggota maupun pengurus partai
politik menyebabkan posisi birokrasi tidak lagi netral.Kebijakan monoloyalitas
pegawai negeri kepada pemerintah dalam prakteknya diselewengkan menjadi
loyalitas tunggal kepada Golkar.Korpri sebagai satu-satunya organisasi pegawai
negeri menjadi alat efektif untuk mengikat pilihan politik pegawai negeri
kepada Golkar.Birokrasi publik selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi
instrumen efektif bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Secara
politis, argumentasi di balik kehadiran Korpri adalah dalam rangka untuk
menghilangkan sekat-sekat pembedaan menurut garis-garis politik-ideologis yang
merambah birokrasi pada orde sebelumnya.Penyatuan pegawai negeri kedalam satu
wadah (KORPRI) dimaksudkan sebagai pembersihan birokrasi dari pengaruh-pengaruh
politik.Penataan struktur dan pengembangan profesionalisme pegawai dilakukan
agar mekanisme kerja birokrasi dapat berlangsung secara lebih efisien dan
prinsip monoloyalitas pegawai negeri diterapkan agar jajaran birokrasi
benar-benar dapat menjadi alat pemerintah (bukan alat partai) untuk mencapai
misi nasionalnya.Namun dalam perkembangannya, Korpri justru berkembang menjadi
instrumen politik dari kekuasaan untuk melakukan pengendalian dan pendisiplinan
politik, sekaligus sebagai instrumen mobilisasi politik ke dalam dan ke luar.
Posisi instrumentalis birokrasi secara politis, ideologi, bahkan ekonomi,
justru menghasilkan wajah terburuk birokrasi dalam bentuk pelayanan publik yang
diskriminatif dan kelumpuhan hampir total pada prinsip meritokrasi.
Dominasi
politik di birokrasi , tidak semata-mata disebabkan oleh faktor politik saja,
tetapi didukung oleh kultur PNS yang dibawa dari lingkungan sosialnya yang
lebih mengutamakan pola hubungan patron klien atau pola hubungan paternalistik.
Akibatnya loyalitas PNS pada profesi bergeser menjadi loyal kepada pribadi
atasannya.Selama setengah abad, hak politik PNS berjalan mengikuti hak politik
dari atasan PNS.
Kepentingan
penguasa menjadi sentral dalam kehidupan dan perilaku birokrasi di Indonesia.
Secara historis, birokrasi Indonesia memang tidak memiliki tradisi untuk
menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas. Di zaman kerajaan ,
birokrasi kerajaan dibentuk untuk melayani kebutuhan raja dan keluarganya,
bukan untuk melayani kebutuhan rakyat. Birokrasi adalah abdi raja, bukan abdi
rakyat, karena itu orientasinya bukan bagaimana melayani dan menyejahterakan
rakyat, tetapi melayani dan menyejahterakan raja dan keluarganya , yang mereka
adalah penguasa. Pada zaman kolonial, pemerintah kolonial menggunakan birokrasi
sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya. Penjajah
Belanda memperkenalkan perubahan dan nilai birokrasi modern lebih sebagai cara
untuk mempermudah pengontrolan negara jajahan dan rakyatnya.
14. KONFLIK
POLITIK
Pengertian
konflik merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak, ketika
keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama dan ketika adanya hambatan dari
kedua pihak.[1][2]
Istilah
konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan seperti
kerusuhan, kudeta, terorisme,danrefolusi. Konflik mengandung pengertian
“benturan” seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antar
individu dan individu, kelompok dan kelompok, antara individu dan kelompok atau
pemerintah.[2][3] Jadi
konflik politik dirumuskan secara luas sebagai perbedaan pendapat, persaingan,
dan pertentangan diantara sejumlah individu, kelompok ataupun oraganisasi dalam
upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat
yang dilaksanankan oleh pemerintah. Yang dimaksud dengan pemerintah meliputi
lembaga legeselatif, yudikatif dan eksekutif. Sebaliknya secara sempit konflik
politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang
diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya,juga prilaku penguasa,
beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan
diantara partisipan politik.[3][4]
15. GOLPUT
Kata golput
adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak
menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan. Fenomena
golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat
ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu. Biasanya
mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara.
Istilah golput
muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971.
Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius
Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan
bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak.
Menurut
beberapa pakar politik, seperti Arbi Sanit, golput adalah gerakan protes
politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari
dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu. Berbeda dengan kelompok
pemilih yang tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya.
Kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan :
a.
Pertama, menusuk lebih dari satu
gambar partai.
- Kedua ,
menusuk bagian putih dari kartu suara.
- Ketiga,
tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak
pilih.
- Jadi
golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan
tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu.
- Orang-orang
yang berhalangan hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya karena
alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran,
otomatis dikeluarkan dari kategori golput.
Sementara
Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan.
a.
Golput teknis, yakni mereka yang
karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan
lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang
keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
- Golput
teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena
kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara
pemilu).
- Golput
politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang
tersedia atau tak percaya bahwa pemilu legislatif/pemilukada akan membawa
perubahan dan perbaikan.
- Golput
ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi
(liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan
fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Sedangkan
menurut Novel Ali (1999;22) di Indonesia terdapat dua kelompok golput.
a.
Kelompok golput awam. Yaitu mereka
yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi
karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini
tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif
saja.
- Kelompok
golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya
dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan
kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya
satu organisasi politik lain yang belum ada. dan berbagai alasan lainnya.
Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan golput
awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak
cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.
Seandainya
golput akan di organisasi, Menurut Roni Nitibaskara, akan menjadi semacam
partai atau gerakan oposisi yang harus mempunyai alibi ideologis yang dapat
diterima semua peserta golput. Realitas ini kecil kemungkinannya terbentuk
karena banyak alasan mengapa orang tidak memberikan suaranya.
16. SISTEM
NOKEN
Ada
dua sistem noken yang biasa digunakan masyarakat di pegunungan Papua, yaitu
pola big men atau suara diserahkan dan diwakilkan kepada ketua adat, dan pola
noken gantung dimana masyarakat lain dapat melihat suara yang telah disepakati
masuk ke kantung partai yang sebelumnya telah ditetapkan.
Dalam
sistem noken ini, maka prinsip rahasia tidak lagi berlaku karena ini untuk
menghargai sistem big men, dimana warga harus taat pada kesepakan yang telah
dibuat dan dipimpin oleh kepala suku.
praktik
noken masih terdapat di beberapa wilayah pegunungan di Papua. Ini dikarenakan
faktor geografis dan ketersebaran masyarakat di wilayah pegunungan itu sendiri
atau mereka yang hidup tanpa akses informasi, transportasi, atau pun
komunikasi.
Tidak mudah
untuk menjangkau distrik-distrik dan sebaran masyarakat pegunungan. Biaya yang
tidak sedikit dikeluarkan bagi para caleg untuk mensosialisasikan visi-misinya.