Minggu, 12 Oktober 2014

PENGERTIAN DASAR SOSPOL


TUGAS SOSIOLOGI POLITIK
1.      BENTUK NEGARA RI
Berdasarkan pasal 1 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik. UUD 1945 menghendaki bentuk negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Sistem desentralisasi ditegaskan dalam Penjelasan pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi Oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidstaat (negara kesatuan), Indonesia tidak memiliki daerah di lingkungan yang bersifat staat (negara)juga.
2.      BENTUK PEMERINTAHAN RI
Dalam pasal 1 ayat 1 menghendaki negara Indonesia menghendaki bentuk pemerintahan republik.
Republik berasal dari kata res dan publica (res berarti kepentingan; publica berarti umum). Respublica berarti kepentingan umum atau urusan bersama. Dalam bentuk pemerintahan republik, kekuasaan dalam negara tidak dipegang oleh seseorang secara turun-temurun. Sedangkan dalam bentuk pemerintahan monarki, kekuasaan dalam negara dipegang oleh seorang raja dan menjalankan kekuasaan berdasarkan pengangkatan atau penunjukkan.
3.      SISTEM PEMERINTAHAN RI
Berdasarkan pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian, sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial.
4.      SISTEM POLITIK RI
Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan
Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden,
5.      SISTEM PEMILU RI
Bab tentang pemilihan umum merupakan bab baru dalam undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945. Rumusannya sbb :
BAB VII B PEMILU Pasal 22E
a.       Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,dan adil setiap lima tahun sekali
b.      Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wapres dan DPRD
c.       Peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol
d.      Peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan
e.       Pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
f.       Ketentuan lebih lanjut tentang pemilu diatur dengan undang-undang
Sistem pemilu di bagi menjadi dua kelompok yakni
a.    Sistem distrik ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil )
Didalam sistem distrik, satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas dasar suara terbanyak. Sistem distrik memiliki variasi, yakni :
firs past the post : sistem yang menggunakan single memberdistrict dan pemilihan yang berpusat pada calon, pemenagnya adalah calon yang memiliki suara terbanyak.
the two round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai landasan untuk menentukan pemenang pemilu. hal ini dilakukan untuk menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.
the alternative vote : sama seperti firs past the post bedanya para pemilih diberi otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan ranking terhadap calon-calon yang ada.
block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.
b.    Sistem proporsional ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
Dalam sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil. prinsip utama di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara di dalam pemilu oleh peserta pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan secara proporsional, sistem ini menggunakan sistem multimember districts. ada dua macam sitem di dalam sitem proporsional, yakni ;
list proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kuota.
Perbedaan pokok antara sistem distrik dan proporsional adalah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
6.      SISTEM KEPARTAIAN RI
Konsititusi kita (UUD 1945) tidak mengamanatkan secara jelas system kepartaian apa yang harus diimplementasikan. Meskipun demikian konstitusi mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem multi partai. Pasal tersebut adalah pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem multi partai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kata “gabungan partai poltitik” artinya paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden untuk bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik lain. Dengan demikian dari pasal tersebut di dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat tiga partai politik.  

7.      STRUKTUR POLITIK
Indonesia menerapkan system pemerintahan demokrasi pancasila, sebagai satu kesatuan di dalam system politik pancasila. Demokrasi dapat dikatakan sebagai “pemerintahan dari bawah”, “pemerintahan yang dikendalikan oleh rakyat”, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat” atau pemerintahan oleh banyak orang”. Walaupun tentunya tidak semua rakyat atau setuiap orang ikut memerintah. Adalah merupakan sesuatu yang mustahil, atau justru merupakan bentuk anarki (tanpa pemerintahan) jika setriap orang ikut menjalankan kekuasaan.
Sedangkan “struktur politik” adalah tata susunan kelembagaan (lembaga dan organisasi) dalam kehidupan politik suatu bangsa dan suatu Negara. Struktur politik terdiri dari supra-struktur dan infra struktur.
Supra-struktur mencakup:
1.      Pemerintah
2.      Lembaga tinggi Negara
3.      Lembaga-lembaga Negara (di pusat dan di daerah) serta aparatur pelaksana pemerintah.
Infra-struktur mencakup saluran organisasi untuk penyaluran aspirasi rakyat, yaitu:
1.      Orsospol/parpol (partai-partai politik)
2.      Kelompok kepentingan (interest group)
3.      Kelompok penekan/pendesak (pressure group)
4.      Pendapat umum (public opinion) bersama-sama media massa)
8.      SOSIALISASI POLITIK
yaitu proses, oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsi mengenai politik serta reaksi reaksinya terhadap gejala-gejala politik.
Konsep Sosialisasi Politik
pertama sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar.
memberikan indikasi umum hasil belajar tingkahlaku individu dalam batas-batas yang luas.
Ketiga, sosialisasi itu tidak perlu dibatasi sampai pada usia anak-anak dan remaja saja.
Perkembangan Sosialisasi Politik.
     Easton dan Dennis mengemukakan empat tahap dalam sosialisasi politik diri anak-anak:
Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden, dan polisi.
Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan eksternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
Pengenalan melalui intitusi-institusi politik yang impersonal, seperti Kongres, MA, pemilu.
Perkembangan pembedaan antara intitusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktifitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini, sehingga gambaran yang diidealisir mengenai pribadi-pribadi khusus seperti presiden atau seorang anggota kongres telah dialihkan kepada kepresidenan dan kongres.
9.      PARTISIPASI POLITIK
Yaitu keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik
Bentuk-bentuk partisipasi politik
ada dua bentuk partisipasi politik yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif, tersusun dari mulai yang menduduki jabatan dalam organisasi sampai yang memberikan dukungan keuangan dengan membayar iuran keanggotaan.
Luasnya Partisipasi Politik.
Salah satu bentuk partisipasi politik dapat dilakukan melalui voting yang tujuannya adalah untuk memilih suatu pemerintahan atau pejabat, atau untuk menyetujui suatu usulan.

10.  KOMUNIKASI POLITIK
Yaitu Proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainya, dan di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik.
Pola Komunikasi Politik
Komunikasi politik adalah transmisi informasi yang relevan secara politis dari satua bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara sistem sosial dan sistem politik yang merupakan suatu unsur dinasis dari sistem politik, dan proses sosialisasi, partisipasi, dan pengrekrutan tergantung dari komunikasi.
11.  REKRUITMEN POLITIK
Yaitu proses dengan mana individu-individu menjamin atau mendaftarkan diri untuk menduduki suatu jabatan.
Sistem Pengrekutan Politik
Sistem pengrekutan politik dapat melaui dua cara khusus yaitu seleksi pemilihan melalui ujian dan latihan.selain cara-cara pengrekutan yang biasanya diasosiasikan dengan perubahan-perubahan personil yang ekstensif, terdapat cara lain yang lebih sering diasosiasikan dengan pengrekutan yang berkesinambungan dari tipe personil yang sama, yaitu patronage yang merupakan bagian dari sistem penyuapan dan sistem korupsi yang rumit.
12.  BUDAYA POLITIK
Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan benegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya.
Secara umum budaya politik terbagi atas tiga :
a.      Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, dan pasif)
b.      Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
c.       Budaya politik partisipatif (aktif)
BUDAYA POLITIK PAROKIAL
Budaya politik parokial yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan Parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut.
Ciri-ciri :
a.       Apatis
  1. Pengetahuan politik rendah
  2. Tidak peduli dan menarik diri terhadap kehidupan politik
  3. Anggota masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek politik yang luas
  4. Kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan dan kekuasaan dalam masyarakatnya rendah
  5. Warga negara tidak terlalu berharap dalam sistem politik
  6. Tidak ada peranan politik yang bersifat khusus
  7. Lingkupnya sempit dan kecil
  8. Masyarakatnya sederhana dan tradisional
BUDAYA POLITIK SUBJEK / KAULA
Budaya politik kaula (subjek),yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subyek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek output atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang di buat oleh pemerintah. Namun frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan.
Ciri-ciri :
a.       Memiliki pengetahuan dalam bidang politik yang cukup
  1. Partisipasi politik minim
  2. Kesadaran berpolitik rendah
  3. Kehidupan ekonomi warga negara sudah baik
  4. Tingkat pendidikan relatif maju
  5. Masyarakat menyadari otoritas pemerintah sepenuhnya
  6. Warga negara cukup puas untuk menerima apa yang berasal dari pemerintah
  7. Warga negara menganggap dirinya kurang dapat mempengaruhi sistem politik
  8. Masyarakat secara pasif patuh pada pejabat, pemerintah, dan undang-undang
BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
Budaya politik partisipan,yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung
Ciri-ciri :
a.       Pengetahuan tentang politik tinggi
  1. Kesadaran berpolitik tinggi
  2. Kontrol politik aktif
  3. Warga negara memiliki kepekaan terhadap masalah atau isu-isu mengenai kehidupan politik
  4. Warga mampu menilai terhadap masalah atau isu politik
  5. Warga menyadari adanya kewenangan atau kekuasaan pemerintah
  6. Warga memiliki kesadaran akan peran, hak, dan kewajiban, dan tanggung jawabnya
  7. Warga mampu dan berani memberikan masukan, gagasan, tuntutan, kritik terhadap pemerintah
  8. Warga memiliki kesadaran untuk taat pada peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan tanpa perasaan tertekan
BUDAYA POLITIK INDONESIA
Budaya politik di Indonesia merupakan perwujudan nilai nilai yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang diyakini sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan kegiatan polituk kenegaraan. 
 Setelah era reformasi memang orang menyebut Indonesia telah menggunakan budaya Politik partisipan karena telah bebasnya Demokrasi, partisipatifnya masyarakat dan tidak tunduk akan keputusan atau kinerja pemerintah baru aetika . perlu diketahui ketika era orde baru Demokrasi dikekang. Segala bentuk media dikontrol/diawasi oleh pemerintah lewat Departemen Penerangan supaya tidak mempublikasikan kebobrokan pemerintah.
Budaya politik Indonesia selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Tetapi berubahnya itu hanya terjadi pada daerah perkotaan dan pedesaan yang telah maju tetapi pada daerah-daerah terpencil itu tidak terjadi perubahan karena kurangnya pendidikan dan informasi 
Budaya Politik Indonesia saat ini adalah Campuran dari Parokial, Kaula, dan Partisipan , dari segi budaya Politik Partisipan , Semua ciri- cirinya telah terjadi di Indonesia dan ciri-ciri budaya politik Parokial juga ada yang memenuhi yaitu  seperti berlangsungnya pada masyarakat tradisional dan pada budaya politik kaula ada yang memenuhi seperti warga menyadari sepenuhnya otoritas pemerintah.   
13.  BIROKRASI POLITIK
Sejarah perjalanan bernegara Indonesia sejak kelahirannya tahun 1945 sampai sekarang membawa dampak yang berbeda-beda pada birokrasi. Konfigurasi kultural, ekonomi, dan politik  ikut membentuk profil birokrasi Indonesia .  Sepanjang usia negara Indonesia nampak bahwa politik mendominasi birokrasi pemerintah. 
Masa awal kelahiran negara atau dikenal sebagai Periode Demokrasi Liberal melahirkan sistem demokrasi parlementer dengan multi-party system dimana posisi infrastruktur  politik vis-à-vis suprastruktur politik secara relatif lebih kuat. Tatanan politik ini menciptakan  sosok politik bureau-nomia yakni suatu relasi politik dimana kekuatan nonbirokrasi (parpol, ormas, DPR, dan sebagainya) mendominasi birokrasi. Birokrasi ibarat lahan yang telah dikapling-kapling oleh partai politik.  Beberapa kementrian didominasi oleh suatu parpol antara lain Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Pertanian didominasi oleh PNI; Kementrian Agama didominasi secara bergantian oleh Masyumi atau NU, Kementrian Luar Negeri didominasi secara bergantian oleh PSI atau PNI. Penetrasi partai politik ke dalam tubuh birokrasi telah menimbulkan fragmentasi secara horizontal dalam bentuk multi-loyalitas yang mudah menyeret konflik-konflik internal birokrasi (conflict-ridden bureaucracy).
Pada masa Demokrasi Terpimpin pusat kekuasaan tidak lagi di tangan parlemen, peranan politisi sipil dan partai-partai politik dalam percaturan politik dapat dikatakan lumpuh.Ada tiga kekuatan yang memainkan peranan penting dalam proses perpolitikan yaitu  Presiden Soekarno, militer (ABRI), dan PKI. Soekarno dianggap sebagai pemegang keseimbangan antara militer dan PKI, karena itu mempunyai peranan dominan dan menentukan, bahkan dapat dikatakan kekuasaan terpusat di tangannya sebagai Presiden.Konsep  NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis) yang dirumuskan Soekarno pada puncak kekuasaannya membawa birokrasi berafiliasi pada ketiga aliran tersebut. Di era ini  setiap PNS diharuskan menjadi anggota dari salah satu parpol yang termasuk di dalam kategori Nasakom.
Pada masa tahun 1965 sampai dengan tahun 1998, PNS diharuskan menjadi anggota Golkar.Keanggotaan PNS dijaring melalui mekanisme Korpri yang berafiliasi ke Golkar.Keterlibatan pegawai negeri sebagai anggota maupun pengurus partai politik menyebabkan posisi birokrasi tidak lagi netral.Kebijakan monoloyalitas pegawai negeri kepada pemerintah dalam prakteknya diselewengkan menjadi loyalitas tunggal kepada Golkar.Korpri sebagai satu-satunya organisasi pegawai negeri menjadi alat efektif untuk mengikat pilihan politik pegawai negeri kepada Golkar.Birokrasi publik selama masa pemerintahan Orde Baru menjadi instrumen efektif bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Secara politis, argumentasi di balik kehadiran Korpri adalah dalam rangka untuk menghilangkan sekat-sekat pembedaan menurut garis-garis politik-ideologis yang merambah birokrasi pada orde sebelumnya.Penyatuan pegawai negeri kedalam satu wadah (KORPRI) dimaksudkan sebagai pembersihan birokrasi dari pengaruh-pengaruh politik.Penataan struktur dan pengembangan profesionalisme pegawai dilakukan agar mekanisme kerja birokrasi dapat berlangsung secara lebih efisien dan prinsip monoloyalitas pegawai negeri diterapkan agar jajaran birokrasi benar-benar dapat menjadi alat pemerintah (bukan alat partai) untuk mencapai misi nasionalnya.Namun dalam perkembangannya, Korpri justru berkembang menjadi instrumen politik dari kekuasaan untuk melakukan pengendalian dan pendisiplinan politik, sekaligus sebagai instrumen mobilisasi politik ke dalam dan ke luar. Posisi instrumentalis birokrasi secara politis, ideologi, bahkan ekonomi, justru menghasilkan wajah terburuk birokrasi dalam bentuk pelayanan publik yang diskriminatif dan kelumpuhan hampir total pada prinsip meritokrasi.
Dominasi politik di birokrasi , tidak semata-mata disebabkan oleh faktor politik saja, tetapi didukung oleh kultur PNS yang dibawa dari lingkungan sosialnya yang lebih mengutamakan pola hubungan patron klien atau pola hubungan paternalistik. Akibatnya loyalitas PNS pada profesi bergeser menjadi loyal kepada pribadi atasannya.Selama setengah abad, hak politik PNS berjalan mengikuti hak politik dari atasan PNS.
Kepentingan penguasa menjadi sentral dalam kehidupan dan perilaku birokrasi di Indonesia. Secara historis, birokrasi Indonesia memang tidak memiliki tradisi untuk menempatkan kepentingan publik  sebagai prioritas. Di zaman kerajaan , birokrasi kerajaan dibentuk untuk melayani kebutuhan raja dan keluarganya, bukan untuk melayani kebutuhan rakyat. Birokrasi adalah abdi raja, bukan abdi rakyat, karena itu orientasinya bukan bagaimana melayani dan menyejahterakan rakyat, tetapi melayani dan menyejahterakan raja dan keluarganya , yang mereka adalah penguasa. Pada zaman kolonial, pemerintah kolonial menggunakan birokrasi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya. Penjajah Belanda memperkenalkan perubahan dan nilai birokrasi modern lebih sebagai cara untuk mempermudah pengontrolan negara jajahan dan rakyatnya.
14.  KONFLIK POLITIK
Pengertian konflik merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua pihak, ketika keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama dan ketika adanya hambatan dari kedua pihak.[1][2]
Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan seperti kerusuhan, kudeta, terorisme,danrefolusi. Konflik mengandung pengertian “benturan” seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antar individu dan individu, kelompok dan kelompok, antara individu dan kelompok atau pemerintah.[2][3] Jadi konflik politik dirumuskan secara luas sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan diantara sejumlah individu, kelompok ataupun oraganisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat yang dilaksanankan oleh pemerintah. Yang dimaksud dengan pemerintah meliputi lembaga legeselatif, yudikatif dan eksekutif. Sebaliknya secara sempit konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya,juga prilaku penguasa, beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan diantara partisipan politik.[3][4]
15.  GOLPUT
Kata golput adalah singkatan dari golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan. Fenomena golput sudah terjadi sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu. Biasanya mereka tidak datang ke tempat pemungutan suara.
Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak.
Menurut beberapa pakar politik, seperti Arbi Sanit, golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu. Berbeda dengan kelompok pemilih yang tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya. Kaum golput menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan :
a.       Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai.
  1. Kedua , menusuk bagian putih dari kartu suara.
  2. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih.
  3. Jadi golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu.
  4. Orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput.
Sementara Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan.
a.       Golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
  1. Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
  2. Golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pemilu legislatif/pemilukada akan membawa perubahan dan perbaikan.
  3. Golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Sedangkan menurut Novel Ali (1999;22) di Indonesia terdapat dua kelompok golput.
a.       Kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.
  1. Kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang belum ada. dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.
Seandainya golput akan di organisasi, Menurut Roni Nitibaskara, akan menjadi semacam partai atau gerakan oposisi yang harus mempunyai alibi ideologis yang dapat diterima semua peserta golput. Realitas ini kecil kemungkinannya terbentuk karena banyak alasan mengapa orang tidak memberikan suaranya. 
16.  SISTEM NOKEN
Ada dua sistem noken yang biasa digunakan masyarakat di pegunungan Papua, yaitu pola big men atau suara diserahkan dan diwakilkan kepada ketua adat, dan pola noken gantung dimana masyarakat lain dapat melihat suara yang telah disepakati masuk ke kantung partai yang sebelumnya telah ditetapkan.
Dalam sistem noken ini, maka prinsip rahasia tidak lagi berlaku karena ini untuk menghargai sistem big men, dimana warga harus taat pada kesepakan yang telah dibuat dan dipimpin oleh kepala suku.
praktik noken masih terdapat di beberapa wilayah pegunungan di Papua. Ini dikarenakan faktor geografis dan ketersebaran masyarakat di wilayah pegunungan itu sendiri atau mereka yang hidup tanpa akses informasi, transportasi, atau pun komunikasi.
Tidak mudah untuk menjangkau distrik-distrik dan sebaran masyarakat pegunungan. Biaya yang tidak sedikit dikeluarkan bagi para caleg untuk mensosialisasikan visi-misinya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar